Kamis, 07 Maret 2013

PUISI SENANDUNG JALAN



SENANDUNG JALAN
Oleh: Syukron Ya Syukron

Ayahanda tercinta di bangku khalifah
Inilah kami, sampah pemburu lampu merah
Pengetuk tiap jendela kuda mewah
Berharap telapak kotor menggenggam koin melimpah
Untuk mengubah lapar untuk kami yang susah



Ayah...
Lapar kami masih mampu tertahan
Masih mampu terisi dengan teriakan koran
Masih mampu pula terisi tepuk tangan dan nyanyian jalanan
Namun Ayah, tidak dengan otak kami yang kehausan

Ayah....
Otak kami haus akan pendidikan dan pengajaran
Otak kami rindu akan berpindah dari jalan menuju sekolahan
Otak kami rindu merakit cerah masa depan lewat luas wawasan
Namun koin ini tak mampu hidupkan harapan

Ayah....
Negeri kita telah lama berlebel "Merdeka"
Bahkan sebelum mata ini memandang dunia
Namun mengapa aku masih berbaris di barisan jelata
Dan tertidur dalam selimut tebal derita

Ayah....
Lewat lampu merah, dengan debu yang merkah
Tertitip senandung harap dari kami yang susah
Berharap kelak nasib ini kan berubah
Pun otak ini tertuang dengan ilmu yang berkah dan megah

Juanda, 2012
(Di sela kesibukan melayani pelanggan Tako Yaki dan Tahu Krispi)

Catatan:  
Puisi ini saya tulis ketika hari itu saya sibuk di pinggir jalan. Berjualan Takoo Yaki milik seorang guru Bahasa Jepang tempat saya mencari tambahan uang untuk menambal uang kuliah sambil menunggu beasiswa yang tak kunjung cair. Saya telah janji pada teman saya akan membuatkannya puisi untuk dibacakan di sebuah lomba Baca Puisi di kampus. Ia selalu mengirim pesan singkat, menuntut janji saya padanya. Dan di sela kesepian pelanggan malam itu, akhirnya saya mengambil secarik kertas dan menulis puisi ini. Setelah puisi ini jadi saya mulai mengirimkannya sebait demi sebai lewat pesan singkat. Dan alhamdulillah, teman saya berhasil meraih juara II dalam lomba Baca Puisi tersebut......
Terima kasih teman, telah mau membawakan puisi sederhana ini di atas panggung tempat kau berdiri dengan semangat tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar